Senin, 23 September 2013

cerpen kehidupan



DEMI RISKI DAN ROSI
            Hidup seperti ini tak mudah untuk di jalani. Aku juga yakin bahwa tak semua orang bisa menjalani hidup seperti kami. Aku, Ibu, dan kedua adik perempuanku hidup dalam keadaan ekonomi yang kekurangan.
Setelah ayahku meninggal hidup kami memang serba susah. Makhlum, karena hanya ayahlah tulang punggung keluarga kami yang semasa hidupnya bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan kaos di kotaku.
Walaupun ayahku hanya seorang satpam, dan ibuku hanyalah pedagang gorengan keliling tapi mereka mampu membiayai aku sampai di tingkat SMA dan kedua adik perempuanku itu Riski dan Rosi mereka saat ini duduk di kelas 3 SMP dan 3 SD. Sedangkan untuk saat ini aku duduk di kelas 2 SMA, dan tinggal ibulah harapan kami satu – satunya sebagai ibu sekaligus ayah.
Ibu bekerja siang dan malam untuk kami. Memang, usia ibuku belum terlalu tua karena ibuku menikah di usia 16 tahun, dan pada saat usia 18 tahun aku lahir, sedangkan saat ini usiaku 17 tahun.
“ Mas Raka, bukuku sudah habis padahal besok ada jadwalnya” Suara Rosi adik perempuanku yang terkecil sambil cemberut membuyarkan lamunanku.
Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya, dia menghamiriku sambil merajuk,
“ Rosi,… sini deh mas Raka bilangin.” Aku meraih lengan mungil adik bungsuku itu.
“ Tadi Rosi minta ke ibu, tapi ibu nggak punya duit.” Rosi duduk di pangkuanku sambil cemberut.
“ Gini ya, Rosi kalu minta duit ke ibu jangan dadakan kayak gini, iya kalu ibu punya duit kalau nggak?.... ya udah mas Raka masih punya buku, kemarin baru mas Raka beli buat ngerjain tugas sekolah. Sekarang kamu ambil yach, kamu pakai aja biar kapan – kapan mas Raka beli lagi.”
Adik kecilku itu langsung berlari ke kemarku dengan girang memang selama ini dia belum pernah merasakan kasih sayang ayahku. Karena saat ayahku meninggal dia masih berumur 5 hari, itulah sebabnya kenapa aku sangat memanjakan dan menyayanginya.
“ Mas Raka, bukunya dimana?” suara Rosi dari  dalam kamarku
“ Ditas mas Raka, bukunya berwarna biru pada sampulnya ada gambar macan” jawabku dari teras rumah
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke kamarku, sampai di depan kamar aku berpaspasan dengan Rosi yang senyum – senyum membawa buku baruku.
“ Udah ketemu?” tanyaku singkat
“ Udah, ini kan?” Rosi menunjukkan buku itu. Aku menganggukkan kepalaku, puas rasanya melihat senyum lugu di wajah Rosi.
“ Assalamu’alaikum “
“ Walaikum salam “ jawabku seraya bangun dari tempat tidur.
“ Riski kamu dari mana?” tanyaku pada Riski adik perempuanku yang satu lagi.
“ Habis di suruh ibu mas, nganterin pakaian Bu Yuli yang habis di cuci ibu, sekalian beli minyak goreng buat besok ibu jualan.”
“ Terus, ibu dimana?”
“ O… ibu masih dirumah mbak Yanti itu tuh mbak Yanti mau pesen gorengan sama ibu katanya buat camilan orang – orang yang lagi kerja di rumahnya itu lho mas yang lagi ngebangun teras rumah.”
“ Ya udah, kamu sekarang tidur sana biar ibu mas Raka yang tunggu… kamu besok kan masuk sekolah”
“ Assalamu’alaikum“ sapa ibu kemudian
“ Walaikum salam“ jawabku dan Riski hamper bersamaan.
“ Kok belum pada tidur besok kan pada sekolah “
“ Ya bu….” Jawab kami serentak.”
Setelah mengunci pintu dan mematikan lampu kami semuapun pergi tidur.
            Pagi ini malas sekali rasnya bangun dari tempat tidur. Aku melirik jam di dinding kamarku baru jam setengah lima pagi, tapi aku harus segera bangun untuk segera menimba air di sumur untuk mandi adik – adikku sebelum mereka sekolah nanti; sementara Riski dan Rosi membantu ibu menyiapkan dagangan untuk di jual ibu nanti ke pasar.
Setelah mandi dan sholat subuh, aku langsung bersiap – siap ke sekolah bersama adik – adikku.
Selesai sarapan, kami bertiga berpamitan ke ibu dan kemudian berangkat sekolah, dan seperti bisanya juga ibupun berangkat ke pasar.
“ Raka, besok pagi ada rapat OSIS katanya sih membahas rencana study tour kemarin, kira- kira kalau kita jadi piknik kamu ikut nggak?”
Sapa dion saat kami sama – sama berjalan memasuki gerbang sekolah.
“ nggak tahu deh yon “ jawabku lesu.
Dalam hati aku berontak kenapa aku harus jadi orang miskin seperti gini. Jangankan untuk study tour dan hura – hura, untuk makan sehari – hari kami hanya mengandalkan ibu yang setiap hari menjual tempe, onde – onde, tahu isi, bala – bala dan sejenisnya lah.
Tiba – tiba aku teringat celengan kendiku tapi itukan untuk persiapan ujian aku nanti.”
Entahlah, aku merasa serba salah. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku tetap ingin ikut study tour soalnya kapan lagi.
Setiba di rumah aku timang – timang celengan kendiku menghayal bahwa aku benar – benar ikut study tour minggu depan. Tapi aku masih ragu apakah uangku cukup atau tidak?... aku brdebar – debar menunggu hasil rapat osis besok pagi, karena besok adalah penentuan aku bias ikut study tour atau tidak.
Bel berbunyi empat kali berarti seluruh siswa harus berkumpul di aula untuk mendapat pengarahan. Dan dugaanku benar, ternyata membicarakan masalah study tour untuk kelas XI yang dilakssanakan minggu depan. Lokasi yang dituju adalah ke pantai, museum, dank e kebun binatang. Dan biayanya Rp. 150.000.
“ Bu, Raka boleh nggak buka tabungan untuk ikut study tour minggu depan?”
Ibu menoleh k arahku, sejenak kemudian ibu melanjutkan kembali memarut singkong yang akan dibuat onde – onde singkong nanti malam.
“ Memangnya berapa biayanya Raka?” Tanya ibuku kemudian saambil terus memarut singkong.
“ seratus lima puluh ribu bu’, jawabku singkat.
“ Sebaiknya jangan dibuka, itukan untuk sekolahmu nanti kalau ibu sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahmu”
“ Lalu….?” Tanyaku pada ibu
“ Biar besok ibu carikan pinjaman ke tetangga, tapi sekarang cepat pergi tidur sudah malam biar ini digoreng besok pagi saja.”
Dengan hati lega akhirnya akupun melangkah ke kamarku dan langsung tidur.
            Tok, tok….” Pintu kelas diketuk, pak Basri guru fisikaku meletakkan kapurnya dan bergegas membukakan pintu., ternyata bu Rini wali kelasku.
Sejenak bu rini dan pak Basri berbincang diluar kelas sesaat kemudian pak Basri membaca surat panggilan dari guru BK.
“Panggiln untuk Raka, disuruh pulang karena ibunya sakit.”
Suara pak Basri kemudian. Aku tersentak kaget, langsung saja aku benahi buku-bukuku lalu berpamitan pulang ke pak Basri. Sepanjang perjalanan aku merasa hatiku berdebar-debar dipenuhi tanda tanya ”Ibu sakit apa? bukankah tadi pagi ibu baik-baik saja”.
Aku semakin mempercepat langkahku, sepuluh menit kemudian aku sampai di depan rumahku.
Hatiku semakin tak menentu “Ada apa dengan ibu?” pertanyaan itu yang semakin mengganggu pikiranku ditambah lagi banyak sekali orang yang berdatangan kerumahku. Aku lngsung menerobos masuk dan ternyata Oh Tuhan…… apa yang terjadi dengan Ibu.
Aku berteriak histeris. Seluruh tulang-tulangku rasanya rontok satu persatu melihat pemandangan di depanku. Ibuku terbungkus kain kafan dengan bercak-bercak darah dan kepala yang retak, dan disamping kanan kiri ibu, adikku Rosi dan Riski menangis sambil memeluk tubuh ibu. Dengan sisa-sisa tenaga yang lemas menahan sedih aku melangkah menghampiri adaik-adikku.
Sesaat kemudian mereka memelukku dan terus menangis. “Mas Raka, ibu mas….”
“Ya Ris…. Mas Raka tau.”
Kami semakin erat berpelukan. Dalam hatiku aku mengutuk diriku sendiri karena akulah yang membuat ibu meninggal.
“nak Raka,….” Tiba-tiba suara pak lurah membuyarkan lamunanku. Aku melepaskan pelukan adik-adikku dan melangkah menghampiri pak lurah.
“Nak Raka, sebaiknya ibu segera dimakamkan, kasihan sudah dari pagi.”
“Iya pak, sebaiknya memang begitu, dan saya mengucapkan terima kasih banyak pak karena bapak dan seluruh warga telah mengurus jenazah ibu saya.”
Pak lurah menepuk bahuku sambil tersenyum. “Sudahlah nak, kita semua bertetangga jadi harus saling tolong menolong.”
“Sekali lagi terimakasih pak.”
“O iya nak Raka sebelum ibu meninggal, saat dirumah sakit ibu menitipkan ini untuk nak Raka. Ibu bilang ini hasil pesanan selama tiga hari, saking senangnya ibu nak Raka lengah saat menyeberang di jalan raya dan akhirnya ibu nak Raka menjadi korban tabrak lari, ini ada Rp.175.000.”
Aku tak bias lagi membendung air mataku mendengar kata-kata pak lurah, dan menerima uang hasil pesanan ibu selama tiga hari.
“Dan ibu juga sempat berpesan agar nak Raka menjaga adik-adik nak Raka dengan baik dan kalau nak Raka mau, nak Raka boleh pakai uang ini untuk biaya study tour.”
Semakin lemas rasanya tubuh ini. Ya Tuhan, sungguh anak yang durhaka aku ini. Hanya demi study tourku aku harus mengorbankan ibuku, dan membiarkan adik-adikku menjadi yatim piatu.
Sekarang semuannya ada ditanganku. Termasuk masa depan adik-adikku, dan aku harus berusaha untuk membiayai mereka. Hatiku semakin teriris melihat wajah-wajah mereka yang polos tak berdosa, haruskah masa depan mereka suram seperti hari ini?........
Tidak, adik-adikku tidak boleh gagal, mereka harus berhasil.
“Nak Raka,… mari kita bawa ibu dan kita makamkan sekarang.” Suara pak lurah membuyarkan lamunanku.
Pak lurah merangkul pundakku. Saat kemudian dengan dibantu para tetangga kami membawa jenazah ibu kepemakaman……… ketempat dimana ibu akan tidur panjang.
“Mas, siapa yang bikinin sarapan buat Rosi kalau Rosi mau sekolah, siapa yang nyuciin baju Rosi, dan siapa yang biayain sekolah Rosi nanti?”
Aku tersenyum melihat Rosi yang begitu lugu dan polosnya menangis disamping makam ibu, meskipun terisak disampingnya aku beranjak menghampiri mereka.
“Riski, Rosi,.. kalian nggak usah khawatir. Biar mas Raka yang gantiin ibu. Mas Raka yang akan nyiapin sarapan  buat kalian sebelum kalian sekolah, mas Raka yang akan nyuciin baju Rosi, dan mas Raka akan cari kerja buat biayain sekolah kalian.”
Riski dan Rosi terisak memelukku dalam hatipun aku bersumpah dimakam ibuku untuk menjaga dan merawat adik-adikku. Tak apala sekolahku harus aku korbankan demi masa depan mereka. Dan sekarang impianku hanya satu, aku harus memberikan kehidupan yang lebih baik dari sekarang untuk adik-adikku. Karena sekarang ini hanya akulah kakak sekaligus orang tua mereka. 
TAMAT.

0 komentar:

Posting Komentar

 

BAHASA INDONESIA (CATUR) © 2008. Design By: SkinCorner