DEMI RISKI DAN ROSI
Hidup seperti ini tak mudah untuk di
jalani. Aku juga yakin bahwa tak semua orang bisa menjalani hidup seperti kami.
Aku, Ibu, dan kedua adik perempuanku hidup dalam keadaan ekonomi yang
kekurangan.
Setelah
ayahku meninggal hidup kami memang serba susah. Makhlum, karena hanya ayahlah
tulang punggung keluarga kami yang semasa hidupnya bekerja sebagai satpam di
sebuah perusahaan kaos di kotaku.
Walaupun
ayahku hanya seorang satpam, dan ibuku hanyalah pedagang gorengan keliling tapi
mereka mampu membiayai aku sampai di tingkat SMA dan kedua adik perempuanku itu
Riski dan Rosi mereka saat ini duduk di kelas 3 SMP dan 3 SD. Sedangkan untuk
saat ini aku duduk di kelas 2 SMA, dan tinggal ibulah harapan kami satu –
satunya sebagai ibu sekaligus ayah.
Ibu
bekerja siang dan malam untuk kami. Memang, usia ibuku belum terlalu tua karena
ibuku menikah di usia 16 tahun, dan pada saat usia 18 tahun aku lahir,
sedangkan saat ini usiaku 17 tahun.
“
Mas Raka, bukuku sudah habis padahal besok ada jadwalnya” Suara Rosi adik
perempuanku yang terkecil sambil cemberut membuyarkan lamunanku.
Aku
mengalihkan pandanganku ke arahnya, dia menghamiriku sambil merajuk,
“
Rosi,… sini deh mas Raka bilangin.” Aku meraih lengan mungil adik bungsuku itu.
“
Tadi Rosi minta ke ibu, tapi ibu nggak punya duit.” Rosi duduk di pangkuanku
sambil cemberut.
“
Gini ya, Rosi kalu minta duit ke ibu jangan dadakan kayak gini, iya kalu ibu
punya duit kalau nggak?.... ya udah mas Raka masih punya buku, kemarin baru mas
Raka beli buat ngerjain tugas sekolah. Sekarang kamu ambil yach, kamu pakai aja
biar kapan – kapan mas Raka beli lagi.”
Adik
kecilku itu langsung berlari ke kemarku dengan girang memang selama ini dia
belum pernah merasakan kasih sayang ayahku. Karena saat ayahku meninggal dia
masih berumur 5 hari, itulah sebabnya kenapa aku sangat memanjakan dan menyayanginya.
“
Mas Raka, bukunya dimana?” suara Rosi dari
dalam kamarku
“
Ditas mas Raka, bukunya berwarna biru pada sampulnya ada gambar macan” jawabku
dari teras rumah
Aku
bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke kamarku, sampai di depan kamar aku
berpaspasan dengan Rosi yang senyum – senyum membawa buku baruku.
“
Udah ketemu?” tanyaku singkat
“
Udah, ini kan?” Rosi menunjukkan buku itu. Aku menganggukkan kepalaku, puas
rasanya melihat senyum lugu di wajah Rosi.
“
Assalamu’alaikum “
“
Walaikum salam “ jawabku seraya bangun dari tempat tidur.
“
Riski kamu dari mana?” tanyaku pada Riski adik perempuanku yang satu lagi.
“
Habis di suruh ibu mas, nganterin pakaian Bu Yuli yang habis di cuci ibu,
sekalian beli minyak goreng buat besok ibu jualan.”
“
Terus, ibu dimana?”
“ O… ibu masih dirumah mbak Yanti itu tuh mbak Yanti mau pesen gorengan sama
ibu katanya buat camilan orang – orang yang lagi kerja di rumahnya itu lho mas
yang lagi ngebangun teras rumah.”
“
Ya udah, kamu sekarang tidur sana biar ibu mas Raka yang tunggu… kamu besok kan
masuk sekolah”
“
Assalamu’alaikum“ sapa ibu kemudian
“
Walaikum salam“ jawabku dan Riski hamper bersamaan.
“
Kok belum pada tidur besok kan pada sekolah “
“
Ya bu….” Jawab kami serentak.”
Setelah
mengunci pintu dan mematikan lampu kami semuapun pergi tidur.
Pagi ini malas sekali rasnya bangun
dari tempat tidur. Aku melirik jam di dinding kamarku baru jam setengah lima
pagi, tapi aku harus segera bangun untuk segera menimba air di sumur untuk
mandi adik – adikku sebelum mereka sekolah nanti; sementara Riski dan Rosi
membantu ibu menyiapkan dagangan untuk di jual ibu nanti ke pasar.
Setelah
mandi dan sholat subuh, aku langsung bersiap – siap ke sekolah bersama adik –
adikku.
Selesai
sarapan, kami bertiga berpamitan ke ibu dan kemudian berangkat sekolah, dan
seperti bisanya juga ibupun berangkat ke pasar.
“
Raka, besok pagi ada rapat OSIS katanya sih membahas rencana study tour
kemarin, kira- kira kalau kita jadi piknik kamu ikut nggak?”
Sapa
dion saat kami sama – sama berjalan memasuki gerbang sekolah.
“
nggak tahu deh yon “ jawabku lesu.
Dalam
hati aku berontak kenapa aku harus jadi orang miskin seperti gini. Jangankan
untuk study tour dan hura – hura, untuk makan sehari – hari kami hanya
mengandalkan ibu yang setiap hari menjual tempe, onde – onde, tahu isi, bala –
bala dan sejenisnya lah.
Tiba
– tiba aku teringat celengan kendiku tapi itukan untuk persiapan ujian aku
nanti.”
Entahlah,
aku merasa serba salah. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku tetap ingin ikut
study tour soalnya kapan lagi.
Setiba
di rumah aku timang – timang celengan kendiku menghayal bahwa aku benar – benar
ikut study tour minggu depan. Tapi aku masih ragu apakah uangku cukup atau
tidak?... aku brdebar – debar menunggu hasil rapat osis besok pagi, karena
besok adalah penentuan aku bias ikut study tour atau tidak.
Bel
berbunyi empat kali berarti seluruh siswa harus berkumpul di aula untuk
mendapat pengarahan. Dan dugaanku benar, ternyata membicarakan masalah study
tour untuk kelas XI yang dilakssanakan minggu depan. Lokasi yang dituju adalah
ke pantai, museum, dank e kebun binatang. Dan biayanya Rp. 150.000.
“
Bu, Raka boleh nggak buka tabungan untuk ikut study tour minggu depan?”
Ibu
menoleh k arahku, sejenak kemudian ibu melanjutkan kembali memarut singkong
yang akan dibuat onde – onde singkong nanti malam.
“
Memangnya berapa biayanya Raka?” Tanya ibuku kemudian saambil terus memarut
singkong.
“
seratus lima puluh ribu bu’, jawabku singkat.
“ Sebaiknya jangan dibuka, itukan untuk sekolahmu nanti kalau ibu sudah tidak
mampu lagi membiayai sekolahmu”
“ Lalu….?” Tanyaku pada ibu
“
Biar besok ibu carikan pinjaman ke tetangga, tapi sekarang cepat pergi tidur
sudah malam biar ini digoreng besok pagi saja.”
Dengan
hati lega akhirnya akupun melangkah ke kamarku dan langsung tidur.
Tok, tok….” Pintu kelas diketuk, pak
Basri guru fisikaku meletakkan kapurnya dan bergegas membukakan pintu.,
ternyata bu Rini wali kelasku.
Sejenak
bu rini dan pak Basri berbincang diluar kelas sesaat kemudian pak Basri membaca
surat panggilan dari guru BK.
“Panggiln
untuk Raka, disuruh pulang karena ibunya sakit.”
Suara
pak Basri kemudian. Aku tersentak kaget, langsung saja aku benahi buku-bukuku
lalu berpamitan pulang ke pak Basri. Sepanjang perjalanan aku merasa hatiku
berdebar-debar dipenuhi tanda tanya ”Ibu sakit apa? bukankah tadi pagi ibu
baik-baik saja”.
Aku
semakin mempercepat langkahku, sepuluh menit kemudian aku sampai di depan
rumahku.
Hatiku
semakin tak menentu “Ada apa dengan ibu?” pertanyaan itu yang semakin
mengganggu pikiranku ditambah lagi banyak sekali orang yang berdatangan
kerumahku. Aku lngsung menerobos masuk dan ternyata Oh Tuhan…… apa yang terjadi
dengan Ibu.
Aku
berteriak histeris. Seluruh tulang-tulangku rasanya rontok satu persatu melihat
pemandangan di depanku. Ibuku terbungkus kain kafan dengan bercak-bercak darah
dan kepala yang retak, dan disamping kanan kiri ibu, adikku Rosi dan Riski
menangis sambil memeluk tubuh ibu. Dengan sisa-sisa tenaga yang lemas menahan
sedih aku melangkah menghampiri adaik-adikku.
Sesaat
kemudian mereka memelukku dan terus menangis. “Mas Raka, ibu mas….”
“Ya
Ris…. Mas Raka tau.”
Kami
semakin erat berpelukan. Dalam hatiku aku mengutuk diriku sendiri karena akulah
yang membuat ibu meninggal.
“nak
Raka,….” Tiba-tiba suara pak lurah membuyarkan lamunanku. Aku melepaskan
pelukan adik-adikku dan melangkah menghampiri pak lurah.
“Nak
Raka, sebaiknya ibu segera dimakamkan, kasihan sudah dari pagi.”
“Iya
pak, sebaiknya memang begitu, dan saya mengucapkan terima kasih banyak pak
karena bapak dan seluruh warga telah mengurus jenazah ibu saya.”
Pak
lurah menepuk bahuku sambil tersenyum. “Sudahlah nak, kita semua bertetangga
jadi harus saling tolong menolong.”
“Sekali
lagi terimakasih pak.”
“O
iya nak Raka sebelum ibu meninggal, saat dirumah sakit ibu menitipkan ini untuk
nak Raka. Ibu bilang ini hasil pesanan selama tiga hari, saking senangnya ibu
nak Raka lengah saat menyeberang di jalan raya dan akhirnya ibu nak Raka
menjadi korban tabrak lari, ini ada Rp.175.000.”
Aku
tak bias lagi membendung air mataku mendengar kata-kata pak lurah, dan menerima
uang hasil pesanan ibu selama tiga hari.
“Dan
ibu juga sempat berpesan agar nak Raka menjaga adik-adik nak Raka dengan baik
dan kalau nak Raka mau, nak Raka boleh pakai uang ini untuk biaya study tour.”
Semakin
lemas rasanya tubuh ini. Ya Tuhan, sungguh anak yang durhaka aku ini. Hanya
demi study tourku aku harus mengorbankan ibuku, dan membiarkan adik-adikku
menjadi yatim piatu.
Sekarang
semuannya ada ditanganku. Termasuk masa depan adik-adikku, dan aku harus
berusaha untuk membiayai mereka. Hatiku semakin teriris melihat wajah-wajah
mereka yang polos tak berdosa, haruskah masa depan mereka suram seperti hari
ini?........
Tidak,
adik-adikku tidak boleh gagal, mereka harus berhasil.
“Nak
Raka,… mari kita bawa ibu dan kita makamkan sekarang.” Suara pak lurah
membuyarkan lamunanku.
Pak
lurah merangkul pundakku. Saat kemudian dengan dibantu para tetangga kami
membawa jenazah ibu kepemakaman……… ketempat dimana ibu akan tidur panjang.
“Mas,
siapa yang bikinin sarapan buat Rosi kalau Rosi mau sekolah, siapa yang nyuciin
baju Rosi, dan siapa yang biayain sekolah Rosi nanti?”
Aku
tersenyum melihat Rosi yang begitu lugu dan polosnya menangis disamping makam
ibu, meskipun terisak disampingnya aku beranjak menghampiri mereka.
“Riski,
Rosi,.. kalian nggak usah khawatir. Biar mas Raka yang gantiin ibu. Mas Raka
yang akan nyiapin sarapan buat kalian
sebelum kalian sekolah, mas Raka yang akan nyuciin baju Rosi, dan mas Raka akan
cari kerja buat biayain sekolah kalian.”
Riski
dan Rosi terisak memelukku dalam hatipun aku bersumpah dimakam ibuku untuk
menjaga dan merawat adik-adikku. Tak apala sekolahku harus aku korbankan demi
masa depan mereka. Dan sekarang impianku hanya satu, aku harus memberikan
kehidupan yang lebih baik dari sekarang untuk adik-adikku. Karena sekarang ini
hanya akulah kakak sekaligus orang tua mereka.
TAMAT.